FYP
Media
Memuat Halaman...
0%
Singapura Terapkan Hukuman Cambuk bagi Scammer Online: Rp46 Triliun Raib, 190.000 Kasus Tercatat Sejak 2020

News

Singapura Terapkan Hukuman Cambuk bagi Scammer Online: Rp46 Triliun Raib, 190.000 Kasus Tercatat Sejak 2020

Writer: fypmedia - Rabu, 05 November 2025

Singapura Terapkan Hukuman Cambuk bagi Scammer Online: Rp46 Triliun Raib, 190.000 Kasus Tercatat Sejak 2020

FYPMedia.id — Pemerintah Singapura mengambil langkah hukum paling tegas dalam sejarah pemberantasan kejahatan siber.

Negara kota tersebut berencana memberlakukan hukuman cambuk bagi para pelaku penipuan online (scammer) yang telah merugikan negara hingga lebih dari Rp46 triliun dalam lima tahun terakhir.

Kebijakan baru ini menandai era baru penegakan hukum siber di Asia, di mana Singapura, negara yang dikenal disiplin dan tegas dalam hukum, kini siap menggunakan pendekatan fisik dan psikologis untuk menekan angka kejahatan digital yang terus melonjak.

Langkah ini diumumkan langsung oleh Menteri Negara Senior Urusan Dalam Negeri Singapura, Sim Ann, dalam sidang parlemen pada Selasa (4/11/2025).

"Kita akan memberlakukan hukuman cambuk wajib bagi para scammer,” kata Sim Ann saat amandemen undang-undang pidana Singapura diajukan untuk pembahasan kedua di parlemen.

Ia menambahkan, "Para pelaku yang melakukan penipuan, yang utamanya dilakukan melalui komunikasi jarak jauh, akan dihukum dengan sedikitnya enam kali cambukan.”

Lonjakan Kasus Penipuan Online Bikin Pemerintah Geram

Data pemerintah menunjukkan, sejak tahun 2020 hingga pertengahan 2025, lebih dari 190.000 kasus penipuan online telah dilaporkan di Singapura.

Total kerugian akibat kejahatan ini mencapai US$2,8 miliar atau setara dengan Rp46,8 triliun.

Sim Ann menjelaskan, selama beberapa tahun terakhir, sindikat penipuan daring beroperasi dengan skala besar dan sangat terorganisir, bahkan melibatkan jaringan lintas negara.

"Sindikat-sindikat ini memobilisasi sumber daya yang signifikan untuk melakukan dan mendapatkan keuntungan dari penipuan, dan memiliki tingkat kesalahan tertinggi,” tegasnya.

Menurutnya, hukuman cambuk akan menjadi efek jera kuat bagi pelaku maupun sindikat yang berani mencoba menipu warga.

Pemerintah juga akan memperluas pengawasan terhadap pihak-pihak yang membantu pelaku, seperti "money mule”, orang yang dengan sengaja meminjamkan rekening atau SIM card untuk kegiatan ilegal.

Dalam amandemen undang-undang baru ini, para anggota sindikat dan perekrut akan dikenakan hukuman cambuk wajib minimal enam kali, sementara pihak yang terbukti membantu pelaku penipuan bisa dijatuhi hingga 12 kali cambuk.

Baca Juga: Tragedi Penerbangan UPS: Pesawat Kargo Jatuh di Kentucky, 3 Orang Tewas dan 11 Terluka

Langkah Drastis di Tengah Gelombang Kejahatan Siber Regional

Keputusan Singapura ini datang di tengah meningkatnya kejahatan siber di kawasan Asia Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena pusat-pusat penipuan daring (cyberscam hubs) yang beroperasi di sejumlah negara, termasuk Kamboja, Myanmar, dan Laos.

Pusat-pusat ini diduga memperkerjakan ribuan orang, banyak di antaranya warga asing — untuk melakukan penipuan digital berbasis investasi, romansa, dan kripto.

Langkah Singapura memperkenalkan hukuman cambuk bagi pelaku penipuan daring menjadi sinyal keras bahwa negara tersebut tidak akan memberi ruang sedikit pun bagi kejahatan siber.

Kerugian Fantastis dan Kasus yang Menyentuh Pejabat Tinggi

Kasus penipuan daring di Singapura bukan hanya menimpa masyarakat umum, tetapi juga mantan Perdana Menteri Lee Hsien Loong.

Dalam wawancara dengan media lokal tahun lalu, Lee mengaku pernah menjadi korban penipuan online saat barang yang ia pesan tidak pernah dikirimkan.

Pengalaman itu menyoroti fakta bahwa siapa pun bisa menjadi korban, bahkan di negara dengan sistem keamanan digital seketat Singapura.

Kementerian Dalam Negeri Singapura mencatat bahwa sejak 2020, bentuk-bentuk penipuan daring terus berevolusi, dari phishing, investasi palsu, hingga scam berbasis AI deepfake.

Kerugian terbesar berasal dari penipuan investasi kripto dan romance scam, di mana korban ditipu melalui hubungan daring palsu sebelum akhirnya diminta mengirimkan uang.

Baca Juga: Prabowo Ingin Kereta Cepat Whoosh Diperpanjang Hingga Banyuwangi, KCIC Siap Dukung

Tindakan Tegas dan Edukasi Publik Jadi Dua Pilar Utama

Pemerintah Singapura menilai bahwa penegakan hukum yang keras harus berjalan seiring dengan edukasi publik.

Karena itu, selain hukuman cambuk, pemerintah juga memperkuat sistem pencegahan dan literasi digital bagi warga.

Langkah-langkah yang sudah diambil antara lain:

  • Peluncuran aplikasi ScamShield pada 2020, yang memungkinkan warga memblokir panggilan dan pesan mencurigakan.
  • Pendirian hotline nasional anti-scam, tempat warga bisa melapor dan mendapatkan panduan bila menjadi korban.
  • Kampanye nasional bertajuk "Spot the Scam, Stop the Scam” yang digencarkan di media sosial dan ruang publik.

Kasus Chen Zhi Ungkap Jaringan Penipuan Multinasional

Langkah Singapura juga berkaitan erat dengan peningkatan aktivitas kriminal lintas negara.

Pekan lalu, Kepolisian Singapura bekerja sama dengan Kementerian Kehakiman Amerika Serikat menyita aset senilai lebih dari US$115 juta (Rp 1,9 triliun) milik Chen Zhi, taipan Inggris-Kamboja yang diduga menjadi dalang di balik kamp kerja paksa penipuan digital di Kamboja.

Kementerian Kehakiman AS menyebut Chen, pendiri Prince Holding Group, sebagai tokoh penting dalam salah satu organisasi kriminal transnasional terbesar di Asia.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa penipuan daring kini bukan lagi kejahatan kecil, melainkan bagian dari ekosistem kejahatan terorganisir global yang memanfaatkan celah digital dan teknologi.

Kebijakan Tegas untuk Menjaga Kepercayaan Digital Singapura

Dengan statusnya sebagai pusat finansial dan teknologi di Asia Tenggara, Singapura sangat bergantung pada kepercayaan publik terhadap sistem digitalnya.

Maka, pemerintah menilai hukuman cambuk bukan hanya bentuk balasan fisik, tetapi juga pesan moral dan sosial yang kuat bagi seluruh pelaku kejahatan daring.

Kebijakan ini diharapkan mampu menurunkan angka kejahatan siber secara signifikan dalam dua tahun ke depan.

Selain itu, dengan penguatan kolaborasi antarnegara dan sektor swasta, Singapura menargetkan menjadi negara paling aman secara digital di Asia pada tahun 2030.

Kebijakan ini mungkin tampak ekstrem bagi sebagian pihak, namun Singapura dikenal tak pernah setengah hati dalam menegakkan hukum.

Dari hukuman denda berat, larangan mengunyah permen karet, hingga hukuman mati untuk kasus narkoba — negara ini selalu menempatkan ketertiban publik dan kepercayaan hukum di atas segalanya.

Kini, dengan ancaman baru di era digital, hukuman cambuk untuk scammer menjadi langkah simbolis sekaligus nyata untuk menjaga keamanan nasional.

Bagi dunia, kebijakan ini menjadi contoh ekstrem dari komitmen digital governance yang tak hanya berbicara di atas kertas, tapi diwujudkan dengan tindakan keras terhadap para pelaku kejahatan daring.

Tags:

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait.

Mau Diskusi Project Baru?

Contact Us