Writer: Raodatul - Rabu, 12 November 2025
FYPMedia.id — Di tengah maraknya konten kesehatan yang berseliweran di media sosial, masyarakat diimbau untuk semakin cerdas dalam memilah informasi, terutama soal penyakit jantung. Pasalnya, banyak klaim penyembuhan instan yang beredar tanpa dasar medis dan justru berisiko memperburuk kondisi pasien.
Peringatan ini disampaikan oleh dr. Sugisman, SpBTKV(K), Spesialis Bedah Toraks dan Kardiovaskular BraveHeart, Brawijaya Hospital Saharjo, yang menyoroti derasnya arus informasi menyesatkan di era digital. Ia menegaskan bahwa tidak semua informasi kesehatan di media sosial bersumber dari tenaga ahli atau lembaga medis yang kredibel.
“Anda minum ini bisa hilang, bisa sembuh dari sumbatan jantung — itu kan barang jualan semua. Belum tentu ada rekomendasi medisnya. Secara medis mungkin tidak approve, tidak credible gitu ya. Tapi karena itu lebih mudah diakses, akhirnya banyak yang percaya,” ujar dr. Sugisman dalam tayangan detikSore, Senin (10/11/2025).
Fenomena Info Medis Palsu: Dari Klaim Herbal hingga "Obat Ajaib"
Dalam beberapa tahun terakhir, platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi ladang subur bagi penyebaran informasi kesehatan yang keliru.
Salah satu yang paling banyak beredar adalah klaim bahwa sumbatan pembuluh darah jantung bisa “luruh” hanya dengan konsumsi bahan herbal atau minuman tertentu.
Padahal, menurut penjelasan medis, penyumbatan pembuluh darah jantung (penyakit arteri koroner) tidak bisa sembuh hanya dengan konsumsi bahan alami atau suplemen, melainkan membutuhkan evaluasi klinis menyeluruh, termasuk pemeriksaan angiografi dan penanganan medis seperti stent atau operasi bypass.
“Informasi yang tidak akurat itu bisa membuat perjalanan penyakit melenceng jauh. Pasien jadi menunda pengobatan yang semestinya dilakukan segera,” tambah dr. Sugisman.
Baca Juga: 5 Fakta Penting Penyakit Jantung Koroner di Usia Muda: Waspadai Gejala Sejak Dini!
Hoaks Kesehatan: Ancaman Baru di Era Digital
Fenomena “dr. Google” dan influencer yang membahas kesehatan tanpa dasar ilmiah kini menjadi tantangan serius bagi dunia medis.
Menurut Survei Asosiasi Peneliti Digital Indonesia (APDI) 2025, sekitar 78% pengguna internet di Indonesia pernah menerima informasi kesehatan yang ternyata hoaks, dan separuhnya berasal dari media sosial.
Bagi penyakit serius seperti jantung, dampaknya bisa fatal. Menunda pengobatan medis hanya karena percaya konten viral dapat berujung pada serangan jantung mendadak, gagal jantung, atau bahkan kematian.
“Yang paling berbahaya itu bukan hanya hoaksnya, tapi rasa percaya diri palsu yang ditanamkan kepada pasien. Mereka merasa sehat padahal sebenarnya tidak,” ujar dr. Sugisman memperingatkan.
Konsultasi dengan Dokter, Bukan dengan Konten Kreator
dr. Sugisman menekankan bahwa langkah paling bijak dalam menangani penyakit jantung adalah berkonsultasi langsung dengan tenaga medis profesional.
Semua informasi yang bersumber dari broadcast, unggahan video, atau media sosial harus dikonfirmasi ulang kepada dokter spesialis terkait.
“Harusnya semua broadcast-broadcast itu dikonsultasikan lebih lanjut kepada dokter ahli, supaya kita memperoleh informasi yang akurat,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk mengenali ciri-ciri informasi medis yang kredibel, antara lain:
- Disebutkan sumber ilmiahnya (seperti jurnal atau lembaga resmi seperti WHO, IDI, Kemenkes)
- Tidak menjanjikan hasil instan
- Tidak mengandung ajakan membeli produk tertentu tanpa indikasi medis
- Tidak menakut-nakuti atau menggiring opini
Dengan demikian, publik bisa lebih terlindungi dari jebakan konten promosi berkedok edukasi kesehatan yang kini banyak beredar di dunia maya.
Operasi Jantung Bukan Akhir Kehidupan: Angka Keberhasilan Capai 95%
Selain menyoroti hoaks kesehatan, dr. Sugisman juga meluruskan mitos paling umum tentang penyakit jantung: bahwa operasi jantung adalah vonis mati. Menurutnya, persepsi ini sudah tidak relevan dengan kemajuan medis modern.
“Jadi banyak pasien begitu didiagnosis jantung, apalagi disarankan operasi, langsung berpikir itu akhir dari kehidupan. Padahal tidak,” ujarnya.
Dengan teknologi kedokteran yang semakin canggih, tingkat keberhasilan operasi jantung kini mencapai di atas 90-98%, sementara angka kematian (mortalitas) berada di bawah 5%. Artinya, peluang pasien untuk pulih dan hidup produktif sangat besar, asalkan mendapatkan penanganan medis tepat waktu.
“Angka mortalitas operasi jantung itu cukup rendah. Jadi jangan takut, justru semakin cepat ditangani, semakin besar peluang sembuh,” jelas dr. Sugisman.
Baca Juga: 6 Manfaat Labu Siam: Pilihan Sehat untuk Jantung dan Pencernaan
Peran Gaya Hidup Sehat: Kunci Pencegahan Jangka Panjang
Selain pengobatan, pencegahan menjadi hal yang tak kalah penting. dr. Sugisman menekankan bahwa 80% kasus penyakit jantung bisa dicegah dengan perubahan gaya hidup sederhana, seperti:
- Mengurangi konsumsi makanan tinggi lemak dan gula
- Berhenti merokok
- Rutin berolahraga minimal 30 menit sehari
- Menjaga berat badan ideal
- Mengelola stres dan tidur cukup
Penyakit jantung itu tidak datang tiba-tiba. Ia hasil dari gaya hidup yang tidak dijaga selama bertahun-tahun. Jadi yang paling efektif adalah pencegahan sejak dini.
Kesimpulan: Cerdas Digital untuk Sehat Fisik dan Finansial
Kasus penyebaran informasi palsu seputar pengobatan jantung hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana dunia digital dapat menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia memudahkan akses informasi kesehatan; di sisi lain, jika tidak disaring dengan kritis, bisa menyesatkan dan bahkan mengancam nyawa.
dr. Sugisman berharap masyarakat Indonesia lebih waspada, kritis, dan mau memverifikasi setiap informasi medis yang diterima.
Karena pada akhirnya, keputusan pengobatan yang salah tidak hanya membahayakan tubuh, tetapi juga bisa menguras keuangan keluarga akibat terapi yang tidak efektif.
“Yang paling penting adalah jangan percaya begitu saja pada apa yang viral. Pastikan dulu sumbernya, konsultasikan dengan ahlinya. Kesehatan bukan sesuatu yang bisa diambil risikonya,” pungkas dr. Sugisman.