Writer: Muhammad Riyadz Aqsha - Rabu, 08 Oktober 2025
FYP Media - Harga ulat Jerman atau yang dikenal juga dengan nama superworm terus menunjukkan tren kenaikan di pasar pakan hewan. Kenaikan ini tak lepas dari meningkatnya permintaan, terutama dari kalangan penghobi reptil, burung kicau, dan ikan predator yang membutuhkan pakan bernutrisi tinggi.
Saat ini, harga ulat Jerman hidup di pasaran Indonesia berkisar antara Rp90.000 hingga Rp120.000 per kilogram, tergantung kualitas, ukuran, dan kondisi pengemasan. Sementara untuk ulat Jerman kering, harga dijual mulai dari Rp10.000 hingga Rp12.000 per 25 gram, tergantung merek dan kemasan.
Menurut pantauan dari berbagai platform e-commerce, harga pakan jenis ini stabil meningkat sejak awal tahun 2025. Di tingkat pembudidaya, terutama di wilayah Pekanbaru dan Jawa Tengah, harga ulat Jerman bahkan sempat menembus Rp70.000 per kilogram, naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar Rp50.000–Rp60.000.
Permintaan Meningkat Seiring Tren Hewan Peliharaan Eksotik
Peningkatan harga ini sejalan dengan naiknya tren memelihara hewan eksotik di kalangan anak muda. Ulat Jerman menjadi salah satu pakan utama untuk reptil seperti gecko, iguana, dan ular peliharaan. Selain itu, ulat ini juga diminati oleh peternak burung dan ikan hias karena kandungan protein tinggi dan lemak sehat yang mempercepat pertumbuhan hewan.
Tidak hanya dijual dalam bentuk hidup, kini banyak pelaku usaha yang mengembangkan produk olahan seperti ulat Jerman kering, tepung ulat, hingga pakan campuran (mix bugs). Produk olahan ini memiliki keunggulan dari segi daya simpan dan kemudahan distribusi, terutama untuk pasar luar daerah.
Peluang Besar untuk Peternak dan UMKM Lokal
Melihat tren permintaan yang terus meningkat, peluang usaha budidaya ulat Jerman dinilai sangat potensial. Dengan modal relatif kecil dan siklus produksi yang cepat, bisnis ini bisa menjadi alternatif menarik bagi pelaku UMKM di sektor agribisnis.
Data dari komunitas peternak menunjukkan, banyak pelaku baru yang mulai masuk ke bisnis ulat Jerman karena margin keuntungan yang cukup tinggi. Dalam satu siklus produksi sekitar 2–3 bulan, peternak bisa menghasilkan laba bersih hingga 30–40 persen dari modal awal, tergantung skala dan efisiensi produksi.
Selain pasar domestik, peluang ekspor ke negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand juga mulai terbuka. Namun, untuk menembus pasar luar negeri, produk harus memenuhi standar kebersihan, pengemasan, dan regulasi karantina hewan yang ketat.
Tantangan yang Perlu Diwaspadai
Meski menjanjikan, bisnis ulat Jerman tidak lepas dari tantangan. Masalah sanitasi kandang, fluktuasi harga pakan media, serta resiko penyakit pada koloni ulat bisa menjadi hambatan jika tidak dikelola dengan baik. Selain itu, persaingan pasar lokal yang semakin padat menuntut pelaku usaha untuk berinovasi, baik dari sisi kualitas maupun pemasaran.
Pemerhati agribisnis menilai, inovasi dan edukasi pasar menjadi kunci agar budidaya ulat Jerman tidak hanya dianggap bisnis musiman. Penerapan teknologi sederhana seperti kontrol suhu otomatis, manajemen media kering, serta promosi digital dinilai mampu meningkatkan efisiensi dan jangkauan pasar.
Prospek Cerah di Tahun-Tahun Mendatang
Dengan pertumbuhan pasar pakan hewan eksotik dan meningkatnya minat masyarakat terhadap hewan peliharaan, prospek bisnis ulat Jerman di Indonesia diperkirakan akan terus positif hingga 2026.
Jika tren harga emas bisa dijadikan analogi, maka ulat Jerman bisa disebut sebagai "emas kecil dunia peternakan†— karena nilainya yang stabil dan permintaannya yang cenderung naik setiap tahun.
Bagi pelaku UMKM, ini saat yang tepat untuk mulai melirik peluang bisnis budidaya ulat Jerman, terutama dengan strategi pemasaran digital yang tepat dan kualitas produk yang konsisten. (ra)