Writer: Astriyani Sijabat - Rabu, 15 Oktober 2025
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, memberikan pernyataan tegas bahwa tidak semua pelanggaran hukum—terutama yang bersifat ringan—perlu diselesaikan di pengadilan. Dalam diskusi bersama Aliansi Mahasiswa Nusantara (AMAN) pada Rabu, 15 Oktober 2025, ia menegaskan pentingnya menghidupkan kembali konsep restorative justice dalam sistem hukum nasional melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Simak ulasan lengkapnya berikut ini untuk mengetahui 5 fakta penting seputar restorative justice dan wacana perubahan KUHAP di Indonesia!
1. Kasus Guru Cubit Murid: Simbol Krisis Akal Sehat Hukum?
Habiburokhman menyoroti contoh nyata yang menurutnya "berlebihan†dalam penerapan hukum—yakni kasus guru mencubit murid yang justru berujung pidana.
"Sekarang aja ada guru cubit murid jadi pidana, guru jewer murid jadi masalah. Dulu kita dipukul pakai penggaris kayu besar malah jadi tertib,†katanya.
Pernyataan ini menggambarkan kekhawatiran atas hilangnya konteks sosial dan moral dalam penegakan hukum. Banyak pihak menganggap bahwa tindakan disipliner ringan oleh guru seharusnya tidak otomatis dikriminalisasi, apalagi jika dilakukan dalam konteks mendidik dan tidak melukai secara fisik maupun psikologis.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita kerap terjebak dalam pendekatan prosedural dan formalistik, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial, budaya, serta niat di balik tindakan tersebut.
2. Tidak Semua Kasus Harus Masuk Pengadilan
Poin penting yang ditegaskan oleh Komisi III DPR RI adalah bahwa tidak semua pelanggaran hukum harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Hal ini terutama berlaku bagi:
-
Pelanggaran ringan
-
Perselisihan antarindividu yang bersifat non-struktural
-
Kasus ujaran di media sosial
-
Konflik sosial seperti perkelahian antar remaja
Menurut Habiburokhman, zaman dahulu, masyarakat Indonesia lebih mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan, bahkan perkelahian bisa berakhir dengan perdamaian dan persaudaraan. Hal seperti ini kini tergerus karena hukum nasional terlalu menitikberatkan pada pendekatan represif.
3. Restorative Justice: Kembali ke Akar Budaya Hukum Indonesia
Restorative justice (RJ) adalah pendekatan penyelesaian perkara hukum dengan mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, dibandingkan sekadar menghukum pelaku.
Habiburokhman menegaskan bahwa konsep ini bukan barang baru di Indonesia. Ia menyebutkan, dalam sistem hukum adat serta hukum lokal seperti Qanun di Aceh, pendekatan RJ telah lama menjadi bagian dari proses penyelesaian konflik.
"Kalau zaman dulu, orang berkelahi nggak sampai ke polisi. Karena bisa selesai secara adat dan kekeluargaan. Itu yang mau kita gali kembali,†ujarnya.
Dengan mengintegrasikan RJ ke dalam KUHAP, diharapkan akan ada kejelasan antara ruang lingkup hukum formal dan hukum adat, menghindari tumpang tindih dan kriminalisasi berlebihan terhadap kasus-kasus minor.
4. Revisi KUHAP: Arah Baru Hukum Pidana Nasional
Revisi KUHAP menjadi momentum penting untuk mengatur ulang paradigma hukum pidana di Indonesia.
Beberapa tujuan dari revisi KUHAP antara lain:
-
Mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan adat dalam sistem hukum nasional
-
Memberi ruang hukum bagi penyelesaian non-litigasi seperti mediasi dan restorative justice
-
Mencegah overkriminalisasi pada pelanggaran kecil
-
Membangun sistem peradilan yang lebih berkeadilan dan manusiawi
Habiburokhman menyebut, dalam draf revisi KUHAP, akan dimasukkan ketentuan agar penyelesaian hukum ringan bisa ditangani melalui pendekatan alternatif yang berbasis nilai kemanusiaan dan sosial.
5. Tantangan dan Harapan: Apakah Bisa Diterapkan?
Meski restorative justice terdengar ideal, penerapannya tentu tidak semudah membalikkan tangan. Beberapa tantangan yang harus diperhatikan antara lain:
-
Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap konsep RJ
-
Perlu kerangka hukum yang tegas agar tidak disalahgunakan
-
Perlu pelibatan aktif masyarakat, tokoh adat, dan lembaga non-yudisial
-
Perlindungan terhadap hak korban tetap harus diutamakan
Namun jika diterapkan dengan tepat, restorative justice bisa menjadi solusi efektif untuk mengurangi beban perkara di pengadilan, mencegah overkapasitas di penjara, serta menciptakan masyarakat yang lebih adil dan damai.
Kesimpulan: Saatnya Hukum Mengutamakan Keadilan, Bukan Sekadar Prosedur
Kasus guru yang dicubit murid lalu dipidana hanyalah puncak gunung es dari masalah sistemik dalam hukum pidana kita. Revisi KUHAP yang mengakomodasi pendekatan restorative justice bisa menjadi angin segar bagi sistem peradilan pidana Indonesia yang selama ini terlalu legalistik.
"Kalau semua hal dibawa ke pengadilan, maka kita akan hidup dalam masyarakat yang tidak sehat. Hukum seharusnya melayani keadilan, bukan menjadi alat balas dendam."
Sudah saatnya kita kembali pada nilai-nilai luhur bangsa—musyawarah, kekeluargaan, dan penyelesaian damai. Bukan berarti pelaku kejahatan dibiarkan bebas, tapi keadilan harus melihat konteks, niat, dan dampak sosial dari setiap peristiwa.
Rangkuman Fakta Utama:
| No | Fakta Penting |
|---|---|
| 1 | Guru mencubit murid bisa dipidana di sistem saat ini |
| 2 | Komisi III ingin revisi KUHAP akomodasi restorative justice |
| 3 | Restorative justice hidup dalam hukum adat dan Qanun Aceh |
| 4 | Tidak semua pelanggaran hukum harus ke pengadilan |
| 5 | Tantangan implementasi RJ butuh peran semua pihak |